SUARAJAMBI.COM- Lampu lalu lintas membantu menjaga ketertiban berkendara di jalan raya. Lampu memberikan isyarat berhenti (merah), berhati-hati (kuning), dan lanjutkan (hijau). Bagaimana sejarahnya lampu lalu lintas bisa digunakan sampai sekarang?
Menurut Today I Found Out, lampu lalu lintas berasal dari sistem rel kereta api tahun 1800-an. Insinyur kereta api butuh cara untuk mengetahui kapan waktunya lokomotif berhenti atau melambat. Warna merah dipilih sebagai tanda berhenti, karena banyak orang mengasosiasikannya warna tersebut dengan sesuatu yang berbahaya atau serius.
Dilansir dari Mental Floss pada Senin (7/12/2020), warna merah juga memiliki panjang gelombang terpanjang pada spektrum warna sehingga dapat terlihat dari jarak yang jauh. Mereka juga menggunakan warna putih sebagai tanda “pergi”, dan lampu hijau ketika “sudah pergi”.
Namun karena dua lampu memiliki warna yang mencolok, kebingungan terjadi pada cahaya putih apabila salah satu lampu rusak. Ini akan menyebabkan kondektur salah mengartikan warna lampu. Akhirnya, untuk menghindari kesalahan warna kuning digunakan untuk menunjukkan “kehati-hatian” dan warna hijau digeser fungsinya untuk tanda “melanjutkan”.
Pada tahun 1913, dengan diperkenalkannya Ford Model T mengakibatkan lebih dari 4.000 korban jiwa yang banyak di antaranya akibat tabrakan di perisimpangan jalan raya. Amerika kemudian menggunakan penegakan hukum lalu lintas, dengan menggunakan metode semafor melambaikan tangan untuk mengarahkan kendaraan.
Sementara itu, insinyur Clveland James Hoge menyarankan, menggunakan sistem troli untuk menyalakan lampu merah dan hijau seperti yang diterapkan pada kereta api. Warna kuning dalam sistem ini diganti dengan meniup peluit sebagai pertanda bagi pengemudi.
Hingga pada akhirnya tahun 1920, petugas polisi Detroit bernama William L. Potts menemukan sistem tiga warna, merah, kuning dan hijau. Sejak saat itu, lampu lalu lintas umumnya menggunakan warna tersebut.
Discussion about this post