SUARAJAMBI.COM- KAWASAN Puncak Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menjadi destinasi wisata favorit bagi warga sekitar Jabodetabek menghabiskan liburan akhir pekan maupun hari libur nasional. Punya pemandangan alam pegunungan dengan udara sejuk serta banyaknya tempat rekreasi jadi alasan banyak orang berkunjung ke sana.
Namun, kondisi ini tercoreng dengan maraknya fenomena kawin kontrak yang kebanyakan dilakukan oleh wisatawan dari Timur Tengah dengan wanita lokal.
Ini sebenarnya bukan hanya di Cipanas, tapi juga terjadi di kawasan wisata Puncak Bogor. Mereka memanfaatkan vila-vila yang disewakan untuk wisatawan sebagai tempat tinggal usai kawin kontrak.
Sebelum pandemi COVID-19 melanda, bulan Mei biasanya jadi musim paling banyak terjadi kawin kontrak. Pada bulan itu, vila-vila full booking karena dipakai oleh pelaku. Rental mobil juga kebagian rezeki. Sebuah bisnis yang menggiurkan bagi penyedia jasa.
Bisnis prostitusi dengan kedok kawin kontrak ditentang berbagai pihak, termasuk pemuka agama. Polisi bahkan sudah beberapa kali membongkar kasus ini. Tapi, fenomenanya bisnis lendir tetap saja terjadi.
Praktek kawin kontrak melibatkan sejumlah pihak seperti penghulu liar, wali nikah, saksi-saksi dan lainnya. Faktor ekonomi jadi alasan mereka terlibat.
Gerah dengan kondisi ini, Bupati Cianjur Herman Suherman baru-baru ini menerbitkan peraturan larangan kawin kontrak, karena praktik ini dianggap melecehkan harga diri wanita.
“Perbup yang sudah saya tanda tangani belum diberi nomor dan ditetapkan karena masih menunggu evaluasi dari Gubernur Jabar, setelah disetujui pemerintah provinsi, selanjutnya akan dilakukan sosialisasi terkait larangan kawin kontrak di Cianjur dan dibuat peraturan daerah,” kata Herman, akhir pekan lalu.
Hukuman bagi yang melanggar peraturan itu adalah sanksi sosial. Tapi, jika dalam kawin kontrak tersebut ditemukan unsur-unsur perdagangan manusia maka akan dijerat dengan sanksi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Begitu pula apabila jika melibatkan anak, maka akan diproses dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Kabag Hukum Setda Cianjur, Sidiq El-Fatah, dalam peraturan bupati di Pasal I ayat 6 dijelaskan jika kawin kontrak adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku.
Di ayat 7 disebutkan larangan kawin kontrak adalah upaya-upaya yang berupa kebijakan, program, kegiatan, aksi sosial, serta upaya-upaya lainnya yang dilakukan pemerintahan daerah, masyarakat dan lembaga terkait untuk mencegah terjadinya kawin kontrak di Cianjur.
Jauh sebelum terbitnya perbun Cianjur tentang larangan kawin kontrak, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram hukumnya kawin kontrak atau nikah mut’ah.
Dalam Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada 25 Oktober 1997 dan ditandatangai Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Sekretaris Umum MUI Drs HA Nazriadlani dan Ketua Komisi Fatwa Prof. KH Ibrahim Hosen, LML tersebut tegas disebutkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MUI menjelaskan bahwa praktik nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran,dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.
Mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
Sumber ; Okezone.com
Discussion about this post