Oleh: Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan
Kebijakan seseorang merupakan cerminan dari karakter dan isi kepala atau kemampuan berpikir dari seseorang individu itu sendiri dalam menghadapi sesuatu persoalan. Sebenarnya pemanfaatan kekayaan alam tidak akan menjadi sumber polemik selama hukum dijadikan panglima dalam mengambil suatu kebijakan.
Dengan mengedepankan hukum sebagai pemimpin tertinggi dari panglima suatu kekuasaan seharusnya batubara tidak akan menjadi batu sandungan bagi suatu pelaksanaan managerial dalam suatu organisasi kekuasaan. Karena hanya kesadaran hukum yang mampu memproduksi pemikiran untuk melahirkan suatu kebijakan yang mengandung kepastian hukum yang akan memberikan kemanfaatan hukum.
Dengan kepastian hukum maka seharusnya Dirlantas Polda Jambi tidak lagi perlu membuat suatu pernyataan yang memberikan gambaran suatu sikap prustasi ataupun emosional dari seorang Pejabat Negara di lingkungan Institusi Penegakan Hukum sebagaimana yang dirilis oleh Jambi Independent edisi 08 Maret 2024, dengan penggalan judul Angkutan Batubara Bikin Macet Lagi.
Tidak hanya sekedar sikap prustasi akan tetapi menunjukan gambaran adanya ketidak sepahaman antara Dirlantas dengan gubernur Jambi dalam menentukan sikap bijaksana agar tidak ada pihak-pihak yang harus merasa paling dirugikan, sebagai hasil dari rapat rekayasa lalu lintas 19 februari 2024 yang lalu.
Permupakatan yang mengharuskan pihak Dirlantas Polda Jambi terkesan bersikap latah atau menjilat ludah sendiri dimana setelah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: B/558/II/LIT.4.1/2024 tertanggal 23 Februari 2024 yang lalu, yang bersangkutan kembali membuat pernyataan berupa ultimatum untuk kembali menutup armada angkutan batubara.
Suatu pernyataan yang dapat dipastikan akan kembali mengundang atau menimbulkan persoalan baru atau setidak-tidaknya menimbulkan kesan yang menilai bahwa kebijakan pemerintah dengan sebutan merupakan kebijakan cucuk cabut.
Sikap yang menunjukan suatu keadaan psikologis labil dalam mengambil suatu keputusan hingga tidak memperlihatkan adanya logika berpikir yang membangun suatu tatanan nilai-nilai yang diprioritaskan (value’s priority), atau nilai yang diutamakan (summum bonum/keutamaan nilai).
Bahkan lebih menimbulkan kesan, baik Gubernur maupun Dirlantas Polda Jambi gagal paham atau belum mampu untuk membangun dan membentuk elemen atau unsur pendukung kepribadian ilmunya masing-masing, antara lain seperti logika, nalar, bahasa, argumentasi dan interpretasinya sendiri dalam menemukan suatu rumusan kebijakan publik yang betul-betul memiliki rasa keadilan bagi semua pihak terutama masyarakat dan serta insan batubara yang menantikan kehadiran campur tangan pemerintah sebagaimana azaz dan norma atau kaidah konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Bahkan menyangkut tentang Angkutan Batubara melalui jalur Sungai menimbulkan kesan Pemerintah Provinsi Jambi menciptakan suatu kebijakan yang terlahir dari karakter kepribadian otoritarian yang mengandung sindrom kepatuhan yang berlebihan terhadap otoritas dan norma, serta nilai-nilai etika moral peradaban bangsa, sikap dan tindakan yang melakukan agresi dengan dalih demi kebaikan bagi masyarakat (otoritarianism personality).
Seakan-akan sebuah diskresi kebijakan tersebut disinyalir lebih cenderung merupakan suatu upaya dari pemikiran menghalalkan segala cara ala otoritarianism personality, atau dengan kata lain membuat suatu penyelesaian masalah dengan sengaja memberikan kesempatan kepada seseorang dan/atau orang lain dan/atau suatu korporasi melakukan perbuatan melawan hukum dengan dalih sebagaimana diatas.
Kebijakan yang mengabaikan topografi daerah dimana Provinsi Jambi hanya memiliki pelabuhan yang resmi terdaftar pada instansi pemerintahan hanya 4 (Empat) Pelabuhan yaitu Pelabuhan Talang Duku, Pelabuhan Kuala Tungkal,Pelabuhan Muara Sabak dan Pelabuhan Nipah Panjang.
Artinya di Provinsi Jambi selain daripada pelabuhan sebagaimana diatas tidak ada pelabuhan yang syah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau sebagaimana azaz dan norma ataupun kaidah hukum perizinan.
Atau dengan kata lain kebijakan angkutan batubara melalui jalur sungai dari dan ke selain daripada empat pelabuhan tersebut merupakan suatu kesengajaan memberikan perintah kepada orang lain untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 angka (12) Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan.
Selain daripada itu kebijakan tersebut jika dilihat dari perspektife hukum administrasi negara adalah merupakan suatu kesengajaan untuk mengabaikan Azaz-Azaz Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan/atau setidak-tidaknya telah dengan sengaja menyuruh seseorang dan/atau orang lain dan/atau suatu korporasi mengabaikan ketentuan Pasal 2 juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, serta ketentuan yang bersifat spesifik sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhan.
Sepertinya kedua unsur pemimpin tersebut terbelenggu dengan sejumlah persoalan sehingga membuat mereka terkesan berada pada persimpangan jalan untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya tidak menjadi suatu polemik yang berkepanjangan.
Polemik yang telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun) dan telah menelan korban materi dan korban jiwa yang tidak sedikit bahkan terkesan sengaja dipelihara demi sebuah kepentingan yang diciptakan menjadi suatu misteri, serta diikuti dengan serangan terhadap kehormatan, harkat dan martabat serta wibawah pemerintah dan isntitusi Kepolisian Republik Indonesia.
Serangan moril yang menjadi pemicu tindakan perngrusakan kantor Gubernur dan viralisasi sadapan Illegal percakapan diberbagai aplikasi media sosial beberapa waktu yang lalu yang menimbulkan kesan atau menggiring opini publik dengan tudingan bahwa salah satu dari pemilik suara percakapan tersebut adalah Gubernur Jambi Alharis.
Disinyalir sejumlah perbuatan tersebut terlahir dari adanya krisis kepercayaan masyarakat yang menilai bahwa kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi menyangkut Polemik Batubara selama ini terbelenggu oleh kepentingan dan hanya merupakan sebuah retorika untuk sekedar mendapatkan legitimasi semata.
Seakan-akan telah dengan sengaja dipelihara dengan keyakinan polemik tersebut menutupi persoalan misteri anggaran pembangunan dermaga samudera Ujung Jabung dan Jalan Khusus yang berdasarkan keterangan dari berbagai sumber yang layak untuk dipercaya menyebutkan bahwa untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan tersebut telah dianggarkan melalui APBN pada Kementerian Perhubungan pada tahun anggaran 2012 yang lalu senilai Rp. 4,5 Triliun yang diikuti dengan penganggaran APBD Provinsi Jambi saat itu senilai Rp. 90 Miliar.
Dermaga mimpi buruk tersebut langsung terhubung dengan jalan khusus impian sepanjang ± 220 Kilometer yang dibangun dengan pelaksanaan menggunakan system recycling yang merupakan system pembangunan jalan pertama kali dipergunakan di Indonesia dan mampu menanggung beban kendaraan dengan tonase besar sampai dengan bobot kendaraan seberat 40 (Empat Puluh) Ton.
Pembangunan yang direncanakan akan selesai dalam jangka waktu 2 (Dua) tahun tersebut memiliki korelasi yang sangat erat dengan ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) Perda Provinsi Jambi Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi yaitu sama-sama pada tahun 2014 atau selama (2) Dua tahun.
Akan tetapi baik Dermaga Samudera maupun Jalan Khusus tersebut sampai dengan saat ini tetap tidak pernah terealisasi wujudnya sebagaimana mestinya sesuai dengan perencanaan dengan studi kelayakan (feasibikity studies)nya atau tetap menjadi impian atau merupakan suatu misteri dalam mimpi buruk rakyat Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat Provinsi Jambi.
Walau tidak dapat dipastikan bahwa pembangunan Pelabuhan dan Jalan Khusus mimpi buruk tersebut adalah penyebab utama dari lahir dan tumbuh subur serta berkembang biaknya Polemik Kepentingan Pertambangan Batubara serta walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adalah product politik, akan tetapi kiranya bukanlah merupakan pemikiran yang berlebihan jika masyarakat meminta pihak Aparat Penegak Hukum (APH) berkompeten untuk mengurai misteri tebal dan kelam serta gelap yang menyelimuti APBN Jumbo (2012) tersebut.
Serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengungkap legalitas dari pelaksanaan angkutan batubara melalui jalur sungai dengan segala instrument perizinannya baik menyangkut tentang legalitas kapalnya maupun legalitas pendirian dan pengoperasian pelabuhannya, yang tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut merupakan sebuah agresi intervensi kekuasaan terhadap Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang ada di Provinsi Jambi.
Sampai dengan saat tulisan ini sampai kehadapan para pembaca sekalian, belum terlihat adanya upaya dari pihak-pihak berkompeten seperti Kementerian Perhubungan, Pemerintahan Provinsi Jambi dengan Biro Ekonomi dan Sumber Daya Alam serta Dinas Perhubungannya, begitu juga dengan Pemerintahan Kabupaten Tanjung Jabung Timur berusaha untuk menyibak tabir gelap yang menyelimuti kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut.
Seharusnya dengan terungkapnya secara terang benderang misteri APBN dan APBD Provinsi Jambi tahun anggaran 2012 untuk kedua item pembangunan tersebut maka diharapkan masyarakat akan merasakan kemanfaatan uang negara untuk kepentingan rakyat atau setidak-tidaknya akan membuat tidak terlahirnya embrio krisis kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah dengan segala element birokrasinya, sehingga tidak tercipta teka-teki tanpa jawaban yang tiada hentinya: “Batubara ataukah Batu Sandungan Kepentingan Politik Kekuasaan?”
Discussion about this post