Oleh: Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan
Kebijakan pemerintah provinsi Jambi menyangkut tentang pertambangan Mineral Batubara terkesan telah benar-benar telah menjadi bumerang bagi kredibilitas dan akuntabilitas Pemerintahan itu sendiri serta kehormatan wajah lembaga penegakan hukum beserta dengan institusinya seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Disinyalir adanya pemikiran memanfaatkan keadaan atau polemik yang ada diawali dengan adanya penilaian terhadap kebijakan Pemerintah yang terindikasi tidak memiliki kepastian hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan hukum sebagai penyebab lahir dan terciptanya sesuatu pemikiran nafsu birahi untuk membentuk sesuatu organisasi yang terkesan dibentuk dan/atau dihuni oleh manusia-manusia dengan pikiran yang mengalami Cacat Logika dan Cacat Nalar serta Sesat Pikiran.
Kesesatan Pikiran yang terkesan telah menandingi hak dan kewenangan serta kekuasaan pemerintah dalam melakukan upaya mendapatkan Pendapatan Asli Daerah dan/atau Pendapatan Negara berupa Pajak maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pungutan-pungutan yang dilakukan dengan mengatasnamakan asosiasi atau organisasi yang seakan-akan resmi dari Pemerintah.
Gambaran suasana tersebut sebagaimana keluhan yang diungkap kepada penulis oleh salah seorang pelaku usaha pertambangan emas hitam tersebut yang meminta identitasnya untuk dirahasiakan dengan pernyataan bahwa para pelaku pertambangan mengeluh disebabkan karena banyaknya pungutan yang tidak memiliki kejelasan dasar hukum dan peruntukannya.
Walau tidak dapat dikatakan para pelaku indikasi pungli tersebut terkesan mendirikan negara di dalam negara akan tetapi mereka telah membuat kebijakan sebagai dasar untuk berbuat dan bertindak yang melebihi hak dan kewenangan pemerintah yang seakan-akan atas nama Pemerintah telah memungut uang sebesar Rp. 30.000.000,00 (Tiga Puluh Juta Rupiah) per truk per bulan per badan hukum korporasi dan biaya stiker kendaraan sebesar Rp. 30.000,00 (Tiga Puluh Ribu Rupiah) per trip/pertruk, Pelabuhan Rp.2500,00 (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah)/Ton dan Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) dengan wacana sebesar Rp. 50,00 (Lima Puluh Rupiah)/ton serta harga kartu anggota sebesar Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah).
Secara matematis dari aspek kendaraan angkutan batubara saja, katakanlah dengan akumulasi sebanyak 10.000 unit kendaraan (Truck) maka akan didapat nilai nominal pungutan tersebut perbulan dengan angka yang begitu fantastis yaitu Rp. 300.000.000.000,00 (Tiga Ratus Miliar Rupiah)/bulan. Dengan begitu secara normatife keadaan yang lahir dari kebijakan kepentingan illegal tersebutlah yang telah menghambat pembangunan sebagaimana tujuan negara sesuai dengan amanat konstitusional pada alinea ke Empat pembukaan UUD’1945.
Kesan nyata dari perbuatan yang menimbulkan kesan seakan-akan pungutan dimaksud telah diketahui dan/atau berdasarkan izin atau perkenan dari Pemerintah atau dari institusi-institusi penegakan hukum berkompeten ditandai dengan dicantumkannya logo-logo lembaga-lembaga penegakan hukum pada stiker-stiker yang harus dipasang pada masing-masing unit kendaraan angkutan batubara, seperti Logo Pemerintah Provinsi Jambi, Logo Korp Bayangkara, Logo TNI, dan Logo Kejaksaan, yang seakan-akan stiker tersebut adalah perwujudan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta telah diberi suatu kodifikasi penegakan hukum yang telah disyahkan dan ditetapkan oleh Pemerintah yang berkompeten atau semacam penjabaran dari Peraturan Pemerintah tertentu.
Belum diketahui secara pasti siapa dalang dari semua kebijakan yang menempatkan suatu keadaan yang seakan-akan batubara adalah barang Illegal yang benar-benar terlarang, hingga dijadikan lahan subur untuk berpungli ria bagi para oknum yang merasa dan meyakini dirinya kebal hukum sehingga dapat berbuat dan bertindak melebihi hak dan kewenangan pemerintah tanpa khawatir harus tersentuh oleh hukum dengan kekuatan mengikatnya.
Suatu keadaan yang begitu ironis yang menciptakan kondisi sesuatu barang halal yang dijamin dengan amanat konstitusional dijadikan seakan-akan barang haram dan sebaliknya barang yang telah jelas-jelas haramnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkesan dibiarkan bebas untuk dijadikan seakan-akan barang halal, tergantung pada kunci dasarnya yaitu seberapa besar mampu berkontribusi kepada pemilik hak dan kewenangan melakukan Pungutan Liar (Pungli).
Suatu metode pemikiran yang mampu membolak balikan azaz dan norma serta kaidah hukum sebagai alat pemenuh kepentingan individu ataupun kelompok tertentu dengan menodai harkat dan martabat serta kehormatan warga masyarakat dan pemerintah Provinsi Jambi serta institusi Penegakan hukum yang menciptakan imej atau presedent buruk dengan asumsi Provinsi Jambi dihuni dan dikendalikan oleh mafia ataupun cartel yang membuat Pemerintah dan Hukum tidak berdaya melaksanakan tujuan negara sebagaimana amanat konstitusional.
Discussion about this post