SUARAJAMBI.COM– Meski saat ini sudah masuk era modernisasi, namun sepertinya alat ransportasi dengan menggunakan bahan material kayu dan papan masih banyak dibutuhkan. Salah satunya adalah pembuatan Kapal Tongkang (Taghboat) yang berada di Sungai Bungur, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi.
Pembuatan kapal tongkang milik pengusaha berinisial AU ini tengah menjadi sorotan. Bukan soal teknik pembuatannya, namun darimana asal bahan baku kayu dan papan yang menjadi material utama proses pembuatan kapal inilah yang menjadi sorotan.
Berdasarkan informasi dari sumber diketahui dinding kapal ini menggunakan papan dengan panjang 16 meter jenis Meranti tanpa sambungan, sedangkan lebar badan kapal diperkirakan sekitar 6 meter.
Dimanakah keberadaan pohon dengan diameter diatas 30 cm dan tinggi sekitar 20 meter tersebut berada? Mungkinkah pohon tersebut memang ditanam oleh warga atau pohon tersebut berasal dari Taman Nasional atau hutan lindung ?
Sumber menyebutkan jika material utama yang menjadi bahan baku pembuatan kapal – kapal tongkang milik pengusaha berinisial AU tersebut kemungkinan besar berasal dari Taman Nasional Berbak (TNB) dan hutan lindung yang ada di Jambi dan perbatasan Sumsel.
“Kami menduga papan yang menjadi bahan utama pembuatan kapal tersebut berasal dari kayu yang ada di TNB dan hutan lindung karena setahu kita tidak ada warga yang khusus menanam pohon jenis meranti ini dikebunnya. Kebanyakan warga di kecamatan kumpe ini berkebun karet dan sawit,” ujar Edi, warga Kumpeh.
Berdasarkan informasi warga tersebut , CB24 bersama rekan – rekan LSM bergerak ke TKP dan menyaksikan langsung proses pembuatan kapal-kapal tongkang tersebut. Dari pengakuan pekerja pembuat kapal diketahui bahwa kapal-kapal tongkang yang sedang mereka buat tersebut adalah pesanan dari mitra Bosnya, sedangkan mereka hanya membuatnya saja.
Dari fakta lapangan diketahui panjang kapal tongkang ini sepanjang 16 meter dengan menggunakan papan jenis kayu Meranti tanpa sambungan. Sedangkan lebar kapal sekitar 6 meter. Adapun jumlah kapal yang akan dibuat sebanyak 5 buah. Artinya untuk pembuatan 5 kapal ini dibutuhkan ratusan kubik papan jenis Meranti karena jenis kayu ini dianggap tahan air dan mudah dipaku disbanding kayu bulian.
Dari data yang ada, kami mencoba mengkonfirmaskan temuan ini kepada pemilik kapal berinisial AU. Namun sayang, sejak konfirmasi via Whatsapp tersebut dilayangkan 28 Juli 2024 lalu hingga hari ini tidak ada tanggapan sama sekali dari AU atas pertanyaan yang diajukan oleh media ini.
Sementara pihak Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yang sebelumnya pernah dimintai keterangan mengenai prosedur penebangan kayu hutan maupun kayu yang ditanam sendiri oleh warga menjelaskan jika diameter kayu tersebut dibawah 30 Cm, yang bersangkutan tidak perlu melapor ke Dinas Kehutanan, namun jika diameternya diatas 30 Cm maka yang bersangkutan harus melaporkannya kepada Dinas Kehutanan untuk mendapatkan surat izin penggunaan kayu.
Menanggapi hasil temuan ini, Ketua Lembaga Pemantau Penagakan Hukum dan Peraturan Daerah LPPH-PD, Ruslan Abdul Gani, SH mendesak aparat berwenang seperti Dinas Kehutanan segara memanggil dan memeriksa pemilik kapal untuk mengatahui darimana asal kayu yang menjadi bahan baku pembuatan kapal tersebut.
“Kita minta instansi berwenang seperti Dinas Kehutanan segara bertindak cepat untuk memanggil dan memeriksa pemilik kapal. Apabila kayu yang menjadi bahan utama pembuatan kapal tersebut berasal dari hutan TNB atau hutan lindung, maka yang bersangkutan harus diproses hukum, baik menggunakan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Undang –Undang hukum pidana murni,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf b, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa ; “Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”. Sedangkan pada Pasal 78 ayat (7) menjelaskan sanksi pidana yang berbunyi : ”Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 10 miliar.
Sejak pemberantasan illegal loging dilakukan secara besar-besaran di era Presiden SBY, sejak itu pula pengawasan terhadap hutan lindung dan taman – taman nasional yang ada di Indonesia serta di Provinsi Jambi diperketat penjagaannya oleh instansi tertentu seperti Balai taman nasional serta Polhut Dinas Kehutanan agar kayu-kayu yang ada di dalamnya dapat terjaga dan tidak dijarah oleh pelaku illegal logging.
Dengan pengawasan yang ketat tersebut sudah berarti pohon-pohon besar yang selama ini menjadi sasaran para pelaku ilegal logging menjadi tumbuh dengan baik karena tidak ada yang merusak dan mengganggunya.
Jika kayu yang menjadi bahan utama pembuatan kapal tongkang tersebut berasal dari kebun milik pribadi, tentunya hal ini sangat sulit dipercaya mengingat tumbuhan dengan diameter 40 dan tinggi 20 meter tersebut membutuhkan waktu 50 sampai 60 puluh tahun baru bisa mencapai ketinggian tersebut. Lagi pula sangat jarang ada pebisnis yang sengaja menanam pohon jenis Meranti untuk kepentingan bisnis karena secara ekonomi pengembalian keuntungannya (BOP) sangat lama.
Akankah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi akan memanggil dan memeriksa serta menjerat pelaku dengan Undang – Undang No. 41 /1999 tentang Kehutanan? Kita tunggu tindakan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. (Tim)
Discussion about this post